MAKNA HIJRAH DAN SEJARAH TAHUN BARU
HIJRIYAH
Oleh : Bhayu Sulistiawan,
S.Pd.I
Ada ayat inspiratif yang bisa dijadikan bahan
evaluasi diri atau muhasabah transendental guna memperbaiki diri dalam setiap
langkah kehidupan yang sementara ini:“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S.
Al-Hasyr: 18)
Sejarah pergantian tahun dan hitungan tahun dalam Islam merupakan rangkaian
sejarah penyebaran agama Islam dan perjuangan kaum muslimin. Kalender hijriyah
adalah kalender Islam. Penanggalan yang juga dipakai standar dalam penentuan
waktu-waktu ibadah dalam Islam. Puasa diwajibkan pada bulan Ramadhan, haji pada
bulan Dzulhijjah, dan lain sebagainya. Sebenarnya, nama-nama bulan ini telah
dipakai di zaman Rasulullah SAW. Maka kita pun mendapati firman Allah SWT
terkait dengan perhitungan waktu dalam hijriyah ini:
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah
ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit
dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus,
maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan
perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu
semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.
(QS : At-Taubah : 36)
Permasalahan muncul pada zaman kekhilafahan Umar
bin Khatab. Saat itu Abu Musa Al-Asy.ri sebagai salah seorang gubernur menulis
surat kepada Amirul Mukminin yang isinya menanyakan surat-surat dari khalifah
yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan.
Mendapatkan masukan ini, khalifah Umar bin Khatab menggelar syura (musyawarah).
Maka dikumpulkanlah beberapa sahabat senior waktu itu. Diantaranya adalah
Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi
Waqqas, Zubair bin Awwam, dan Thalhan bin Ubaidillah.
Dalam musyawarah itu muncullah beberapa usulan
dimulainya tahun Islam. Ada yang mengusulkan berdasarkan milad (kelahiran)
Rasulullah SAW. Ada juga yang mengusulkan berdasarkan pengangkatan Muhammad SAW
menjadi Rasul. Dan ada pula yang mengusulkan berdasarkan hijrah Rasulullah SAW.
Usul terkahir ini datang dari Ali bin Abi Thalib, dan usul inilah yang kemudian
disepakati. Maka ditetapkanlah tahun pertama dalam kalender Islam adalah pada
masa hijrahnya Rasulullah SAW. Sedangkan nama-nama bulan dalam kalender hijriyah
ini diambil dari nama-nama bulan yang telah ada dan berlaku di masa itu di
bangsa Arab selama ini.
Betapa luar biasanya para pendahulu kita dari
kalangan sahabat radhiyallaahu ‘anhum. Mereka menyepakati bahwa kalender
hijriyah dimulai dari masa hijrah ke Madinah. Bukan dari waktu kelahiran
Rasulullah, bukan dari diangkatnya Muhammad sebagai Rasulullah, bukan pula dari
peristiwa lainnya. Sesungguhnya, dalam penentuan awal kalender Islam ini
terkandung hikmah besar. Jika kelahiran Rasulullah, itu adalah skenario dari
Allah. Demikian pula diangkatnya Muhammad sebagai Rasulullah, itu adalah
kehendak Allah yang sulit bagi kita untuk mengambil keteladanan dari peristiwa
tersebut. Itu karunia, itu rahmat. Bukan pelibatan ikhtiar dalam kapasitas yang
besar.
Namun hijrah. Subhaanallah... betapapun ia adalah
skenario Allah, ia tetap saja sebuah proses manusiawi yang penuh dengan nilai
perjuangan dan semangat untuk diteladani generasi berikutnya. Kita tahu, bahwa
dakwah Rasulullah selama 13 tahun di Makkah tidak membuat negeri itu menjadi
negeri Islam. Bahkan yang terjadi, meskipun semakin banyak orang yang masuk
Islam, orang-orang kafir Quraisy makin gencar menghalangi dakwah. Berbagai
bentuk celaan dalam ribuan variannya telah dilancarkan. Siksaan kepada kaum muslimin
yang lemah juga dilakukan. Berbagai negosiasi dan tawaran ditempuh agar dakwah
berhenti. Sampai pemboikotan kaum muslimin hingga mereka terpaksa memakan
daun-daunan. Semuanya tidak menghentikan dakwah. Hingga kafir Quraisy pun
berencana membunuh Rasulullah.
Sementara itu, dari arah Yatsrib datang dukungan
dakwah. Allah memberikan pertolongan dari jalan yang lain, ternyata. Setelah
baiat Aqabah I, Rasulullah mengutus dai Islam Mush'ab bin Umair untuk
mendakwahi penduduk Yatsrib, mengajarkan Islam kepada mereka. Hasilnya,
penduduk Yatsrib berbondong-bondong masuk Islam. Mereka bahkan berbaiat
melindungi Rasulullah melalui baiat Aqabah II. Mereka juga mengabarkan bahwa
Yatsrib telah menjadi basis sosial yang siap ditempati kaum muslimin.
Maka, dua bulan lebih beberapa hari setelah Baiat
Aqabah II itu, kaum muslimin Makkah yang kemudian dikenal dengan nama Muhajirin
telah hijrah ke Yatsrib. Yang kemudian dinamakan Rasulullah sebagai Madinah.
Kini tinggal Rasulullah dan Abu Bakar yang masih berada di Makkah. Sampai
kemudian datang perintah Allah kepada keduanya untuk hijrah, tepat ketika
mereka hendak membunuh Rasulullah dengan mengepung rumah beliau.
Hijrah bukanlah perjuangan ringan. Bayangkanlah
orang-orang yang telah disiksa di kampung halamannya harus berpindah ke negeri
lain yang tidak dikenal. Yang belum jelas. Yang masih samar masa depan di sana.
Di saat yang sama ia harus meninggalkan rumah dan harta benda yang tidak
mungkin dibawa. Seakan-akan mereka terusir. Terusir dari kampung halaman tanpa
bekal dan tanpa kejelasan masa depan. Namun karena iman, mereka menempuh
perjuangan sulit dan melelahkan itu.
Demikianlah, para sahabat rela meninggalkan
kampung halaman dan semua harta benda mereka. Bahkan rela mengambil resiko
nyawa karena tidak ada jaminan bahwa hijrah itu berjalan mulus tanpa halangan
kafir Quraisy hingga bisa dengan selamat di Madinah. Misalnya Ayash bin Abi
Rabi'ah yang akhirnya ditangkap oleh orang Quraisy, diikat dan dibawa kembali
ke Makkah. Terlebih hijrahnya Rasulullah dan Abu Bakar yang langsung diburu
oleh kafir Quraisy. Dan disayembarakan dengan hadiah besar bagi siapa yang bisa
mendapatkan Rasulullah hidup atau mati. Tidak heran jika kaum muhajirin dipuji
oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an dan dipersaksikan para shaadiquun:
“Bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir
dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari
Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. mereka Itulah
orang-orang yang benar”. (QS. Al-Hasyr: 8).
Hijrah secara bahasa berarti "tarku"
(meninggalkan). Dikatakan: hijrah ila syai' berarti "intiqal ilaihi 'an
ghairihi" (berpindah kepada sesuatu dari sesuatu). Sedangkan secara
istilah hijrah berarti "tarku man nahallaahu 'anhu": meninggalkan
sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: "Muhajir
(orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah”.
(HR. Bukhari)
Dengan demikian, hijrah secara maknawi terus
relevan sampai kapan pun. Bahwa nilai dan semangat hijrah harus kita bawa dalam
kehidupan modern ini. Kita berhijrah dari kejahiliyahan menuju Islam. Hijrah
dari kekufuran menuju Iman. Hijrah dari kesyirikan menuju tauhid. Hijrah dari
kebathilan menuju al-haq. Hijrah dari nifaq menuju istiqamah. Hijrah dari
maksiat menuju tha'at. Dan hijrah dari yang haram menuju yang halal.