Pendidikan Sejarah 2011

Dalam  riwayat mereka yang disebut ‘pahlawan’, kerap kita lihat ‘cacat’, baik itu satu, beberapa atau bahkan puluhan ‘cacat’ yang cenderung mereka lakukan di masa jelang akhir hayat. Mereka yang pada awalnya dipandang sangat ideal di mata banyak orang, pada satu waktu justru mengundang kecewa besar, terkesan menjadi pendusta, pembelot, atau ‘penjilat ludah’,  karena secara tak disangka, tega mengkhianati idealismenya sendiri.
Lantas,”Adakah pahlawan yang nihil dari kesalahan_yang kurang lebih seperti  superhero  penyelamat masyarakat sejak ia lahir hingga hembus nafas yang akhir?”. Dalam seri Catatan Pinggir,  Goenawan Mohamad/GM menjawabnya,”Tak ada….”. Ia berpendapat demikian, sebab baginya, mustahil manusia bisa berbuat benar pada setiap kesempatan.
Well, tersebab memang tak ada manusia yang sempurna, maka layakkah mereka_yang pada awalnya dipandang ideal tapi membelot, kemudian disebut sebagai pahlawan? “Layak”, jawab GM sambil menambahkan bahwa yang ia persepsikan sebagai pahlawan ialah mereka yang berbuat benar (meski hanya) pada satu kasus yang menghadapkan dirinya pada sebuah pilihan atas kepentingan banyak orang. Oleh karena itu, Soekarno layak menjadi pahlawan karena rela berkorban demi kepentingan pribumi dibanding menerima tawaran untuk bekerja pada pihak kolonial ketika ia baru lulus menjadi insinyur, terlepas dari kesalahan apa yang ia lakukan pada masa yang kemudian. Begitu pula dengan Semaun, Aidit,  atau Kartosuwiryo. Mereka layak disebut pahlawan, karena di usianya yang masih muda telah berani menentang pemerintah kolonial, meski kesempatan untuk menjadi pegawai gubermen demikian terbuka, terlepas bahwa di kemudian hari mereka dicap sebagai ekstrimis oleh para Indonesianis. Bukan hanya itu, dalam sudut pandang ini, bahkan keluarga anda, teman anda, atau pula orang yang sama sekali tak anda kenal, asalkan pernah rela mengorbankan dirinya ketika anda membutuhkan, sangatlah layak untuk disebut sebagai pahlawan (meski tentu tak berarti pula memerlukan bintang jasa dari negara) terlepas bahwa di hari ini, dia justru jadi koruptor, atau pencopet, atau garong, atau pemerkosa atau tukang santet sekalipun.
Dalam uraian diatas, GM mencoba berbagi pandangan atau dengan kata lain menasehati, agar kita tetap menghargai jasa mereka, yang meski tak selalu, tapi pernah berbuat sesuatu yang berdimensi heroik, baik bagi diri kita pun juga banyak orang.
Namun demikian, nan hendak saya bicarakan lebih jauh disini bukan hanya soal kepahlawanan, melainkan pula kecenderungan mereka untuk berubah, membelot, ‘menjilat ludah’, alias melenceng dari idealisme yang pada awalnya mereka pegang teguh tanpa goyah oleh godaan.
Ada banyak spirit superhero yang bersemayam di jiwa mereka yang masih hijau, baik itu dalam diri mahasiswa atau bahkan anak SMA_tapi sumpah deh, yang alay apalagi cabe-cabean tak termasuk kategori ini. Spirit superhero yang dimaksud kerap khalayak sebut sebagai idealisme : suatu bentuk penjunjungan nilai-nilai etis, nilai-nilai kebenaran, atau ide-ide tentang kesemestian.

Ungkapan-ungkapan idealisme tersebut dapat kita lacak dalam buku harian Ahmad Wahib dan Soe Hok Gie (atau pula tokoh lain yang saya belum tahu), berisi tentang kritik, optimisme, serta kegalauan atas realitas. Catatan Seorang Demonstran, misalnya, memuat tulisan Gie yang mengkritik seorang guru. Guru yang dimaksud ialah guru yang merasa benar sendiri, dan mengganggap murid-muridnya seperti kerbau. Padahal bagi Gie, kesemestian seorang guru adalah egaliter. Dalam tulisan lain, Gie menulis sebuah optimisme, yang kurang lebih bahwa “Kita adalah generasi penerus yang akan mensejahterakan Indonesia” atau pula pada kesempatan sejenis ia keluhkan keprihatinannya ketika melihat “Seorang miskin memungut makan di tempat sampah, sementara presiden hidup enak bersama para perempuannya”.
Jiwa yang idealis amat rindu pada kesemestian. Dan ketika realitas (yang ada) tak sebanding lurus dengan idealitas (yang semestinya), mereka gelisah, berontak, mengkritik, berusaha merubah keadaan. Dengan kata lain yang bernada meledek,”Mereka sok kritis, sok jadi pahlawan, sok peduli rakyat miskin, sok anti KKN”. Padahal, semangat perlawanannya bukan  karena “sok”, tapi memang iya, murni panggilan hati. Dan karena jiwa semacam ini biasanya bersemayam dalam diri mereka yang masih muda, maka sangat jarang sekali kita saksikan pemberontakan, atau setidaknya unjuk rasa dari para ‘tua bangka’.
Lantas kita bertanya, mengapa idealisme cenderung hanya ada dalam diri mereka yang masih muda? Maka jawabnya : bukan lagi merupakan rahasia intelejen bahwa idealisme kerap luntur lantaran umur. Beberapa mantan mahasiswa yang mengaku (pernah jadi) aktivis, hari ini membuang jauh-jauh idealismenya. Mereka jadi kompromistis terhadap segala perbuatan yang salah. Puluhan jargon luhur yang dulu kerap mereka lontarkan, kini redam oleh kalimat,”Realistis sajalah…”. Mereka jadi pembelot kini, ‘penjilat ludah’, pengkhianat, atau istilah apapun yang terkutuk.
Saya tak tahu, akan seperti apa jadinya Gie dan Ahmad Wahib andai usia mereka lebih panjang hingga tak lagi muda. Tapi melihat kecenderungan seperti ini, tidak menutup kemungkinan bahwa seiring beranjak tua, mereka juga akan “realistis”. Hal ini (lunturnya idealisme), dalam pandangan saya tak selalu dipicu oleh mereka nan jauh, melainkan oleh mereka nan dekat, yakni orang tua, kekasih, atau pula anak. Seidealis apapun seseorang, tapi kenyataan bahwa ia menganggur dan orang tuanya prihatin akan memaksa ia untuk menyogok pejabat negara agar bisa jadi Pegawai Negeri. Atau ketika sang isteri butuh dana arisan yang jutaan, sementara gaji sang suami yang idealis hanya cukup untuk makan mie ayam setahun 14 kali, maka hal ini akan memaksa ia untuk ‘menelan uang kantor’.
Bukan hanya terhadap Gie pun Ahmad Wahib, bahkan terhadap diri saya sendiri, saya tak yakin bisa tetap idealis, seperti yang saya akui secara agak sombong selama ini. Bisa jadi, kelak saya justru lebih korup dari koruptor yang saya kutuk habis hari ini. Dan terhadap para mahasiswa yang menentang tindakan saya yang koruptif itu, bisa jadi akan saya lakukan tindakan paling keji yang tak pernah diktator lain lakukan pada masa sebelumnya.
Saya tak tahu. Saya tak bisa menjamin bahwa idealisme yang seperti iman atau lilin yang nyala di dalam batin ini akan tetap bersinar. Sesekali nyalanya pasti akan redup, tapi semampu bisa akan saya pelihara agar ia tak lantas sirna. Terlepas dari usaha pemeliharaan itu, andai bila idealisme saya dicincang habis oleh realita yang kejam, kemungkinan baginya untuk sirna tetaplah ada. Tapi setidaknya_di atas segala kemungkinan untuk menjadi bajingan, sebelum masa itu datang, patut rasanya saya korbankan masa muda yang bebas beban ini untuk sesuatu perbuatan, yang mudah-mudahan memberi manfaat bagi banyak orang. Bukan hanya untuk sesaat, melainkan untuk selama-lamanya. Seperti pandangan GM tentang pahlawan, bagi saya lebih baik pernah daripada tidak sama sekali (daripada muda hedonis, tua oportunis). Meminjam syair Chairil,”Sekali berarti, setelah itu mati”, baik mati sesungguhnya, pun juga mati idealismenya…
And then….

 Kenapa tiba-tiba suasananya jadi seperti ini… Tanpa MP3, lagu nasyid berjudul “Demi Masa” yang terinspirasi dari Surat Al-Kautsar sayup-sayup terdengar di telinga saya…
Demi masa
Sesungguhnya manusia kerugian
Melainkan yang beriman dan beramal saleh
Gunakan kesempatan yang masih diberi
Semoga kita takkan menyesal
Masa usia kita, jangan disiakan sebab ia takkan kembali

Ingat lima perkara sebelum lima perkara :
Sehat sebelum sakit
Muda sebelum tua
Kaya sebelum miskin
Lapang sebelum sempit
Hidup sebelum mati


0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget