Oleh Yoga Prayoga
Untuk kawan-kawan mahasiswa yang saya hormati
Assalamu Alaikum Wr, Wb, Salam sejahtera,Saya tulis surat ini ketika mengenang nasib kawan-kawan saya semasa bersekolah, yang dalam novel Laskar Pelangi digambarkan
seperti tokoh Lintang, seorang anak cerdas namun harus putus sekolah
karena perkara biaya. Entah mengapa, ketika mengenang mereka yang
nasibnya serupa dengan Lintang, saya justru teringat pada kalian,
kawan-kawan saya yang nasibnya demikian mujur, karena bisa mengenyam
pendidikan tinggi, tidak seperti Lintang dan kawan-kawan saya itu yang
bahkan tak lulus Sekolah Dasar. Bila kawan-kawan membaca novel Laskar Pelangi, saya
yakin kawan-kawan akan merasa sangat beruntung. Bayangkan saja, dari
jutaan remaja Indonesia, ternyata kawan-kawanlah yang oleh Tuhan diberi
kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi. Dan itu, jelas patut untuk
disyukuri.
Selanjutnya, saya ingin mengajak kawan-kawan untuk berbincang
mengenai negeri kita_tempat yang telah membesarkan kita, tempat dimana
kita banyak menyimpan kenangan yang tentunya demikian indah bila kita
ingat kembali_yakni Indonesia. Disini, ada orang tua kita, keluarga kita
yang tanpa henti berupaya dan berdoa, agar kita, anaknya, kelak menjadi
orang yang bisa diandalkan. Akan tetapi, disamping orang tua dan
keluarga kita tadi, janganlah kita lupakan, bahwa ada banyak orang yang
tak mampu berkata langsung, melainkan hanya bisa berharap, agar kita
yang telah dianugerahi keberuntungan lebih dibanding mereka, bisa
menciptakan kehidupan yang lebih baik.
Merekalah yang hidupnya tak pernah maju sejak zaman dahulu. Mereka
yang hanya bisa membaca, menulis dan menghitung, tanpa pernah mengerti
apa guna presiden, gubernur, bupati, camat bahkan kepala desa bagi
hidupnya. Mereka yang rutin ditagih pajak tanpa pernah merasakan
pembangunan sebagai hasil dari pengumpulan pajak yang mereka berikan.
Mereka yang tak tahu cara ampuh untuk mengatasi kekeringan bagi sawah,
kebun dan kolam ikan mereka. Mereka yang terbiasa menggunakan jalan yang
becek dan berlubang. Mereka yang tak bisa menikmati sanitasi yang layak
dan sehat. Mereka yang tak tahu apa itu dokter,internet, bahkan listrik
sekalipun. Mereka yang ketika hujan selalu kebanjiran.Mereka yang
ketika berpergian harus bergelut dengan macet dan ancaman pencopetan
serta penjambretan. Mereka yang pergi pagi pulang petang penghasilan
pas-pasan potong pinjaman dan akhirnya pasrah. Mereka yang tinggal di
rumah yang sangat sempit sekali sehingga selonjoran saja susah.
Merekalah yang anu,merekalah yang itu dan seterusnya. Saya tak bisa
menggambarkan keadaan mereka secara rinci. Tapi yang jelas, kawan-kawan
tentu pernah melihat, bertemu,bahkan mungkin kenal dengan mereka.
Merekalah yang secara moral, menurut Jalaluddin Rakhmat, menjadi
tanggung jawab kawan-kawan, manusia-manusia beruntung pengenyam
pendidikan tinggi.
Bila kawan-kawan keberatan atau mungkin menolak tanggung jawab itu,
maka izinkanlah saya uraikan sejarah dibentuknya lembaga pendidikan.
Uraian sejarah ini penting menurut saya. Karena dengan ini, kita akan
mencerna ide dari sebuah materi. Dengan analogi lain yang lebih
sederhana, kita akan tahu tujuan dari pembuatan pisau, atau kursi, atau
meja atau hal-hal lain. Dan dalam kesempatan ini, yang akan saya uraikan
ialah tujuan dibentuknya lembaga pendidikan.
Mari saya ajak kawan-kawan menuju zaman Yunani Kuno. Dua ribu dua
ratus tahun yang lalu atau sekitar tahun 200 SM, di kota Athena,Yunani,
hiduplah seorang filsuf bernama Plato. Ia adalah murid setia
Socrates,seorang bijak yang oleh Ali Syariati (cendekiawan Iran)
diketegorikan sebagai nabi. Akan tetapi, saya tak akan membahas
Socrates, melainkan muridnya, Plato.Ketika ditanya tentang negara
seperti apakah yang paling baik? Plato menjawab,“Yakni negara yang diisi
oleh orang-orang bijak”. Dan ketika ditanya cara mewujudkan negara
semacam itu, Plato menjawab,”Kita harus membuat sebuah lembaga yang
mendidik masyarakat agar menjadi bijak”. Manusia bijak dalam pandangan
Plato adalah manusia yang paripurna, baik pengetahuan maupun moralnya.
Untuk bisa menciptakan manusia-manusia yang seperti itu, maka
dibentuklah lembaga pendidikan pertama sepanjang sejarah umat manusia,
yakni Lyceum. Merujuk pada uraian diatas, maka jelas bahwa tujuan
dibentuknya lembaga pendidikan ialah untuk menghasilkan manusia-manusia
bijak, agar negara menjadi baik. Dan karena kawan-kawan telah atau
sedang mengenyam pendidikan tinggi, itu artinya salah satu manusia bijak
yang dimaksud oleh Plato, ialah kawan-kawan. Bersyukurlah, dan jangan
sombong…wkwkwk
Selain itu, karena kawan-kawan mengenyam pendidikan tinggi, itu
artinya kawan-kawan bukan saja siswa, melainkan mahasiswa. Ada perbedaan
tegas antara kedua status sosial tersebut, terutama dalam hal tugas
atau fungsi. Bila siswa hanya wajib untuk menjalankan tugas pendidikan
dan penelitian, maka mahasiswa lebih daripada itu, yakni pendidikan,
penelitian, plus pengabdian sekaligus. Tugas tambahan inilah
(pengabdian) yang oleh Jalaluddin Rakhmat_sebagaimana disinggung
sebelumnya_menjadi tanggung jawab sosial mahasiswa.
Dalam pelajaran sejarah, kawan-kawan tentu mengenal apa itu Politik
Etis yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda kepada pribumi
Nusantara, terutama dalam hal edukasi. Akibat Politik Etis ini, kaum
pribumi mendapatkan pendidikan Eropa. Maka kemudian mereka disebut
sebagai kaum terpelajar_sekalipun hanya sedikit (sebuah sensus yang
dilakukan pemerintah kolonial di akhir tahun 30-an mencatat bahwa 97%
rakyat pribumi masihlah buta huruf. Itu artinya yang ‘terpelajar’ hanya
3%). Dan karena mereka hanya sebagian kecil dari jutaan rakyat pribumi,
Pramoedya Ananta Toer dalam roman berjudul Anak Semua Bangsa berwasiat,”Engkau
terpelajar. Kalau mereka itu, pribumi itu, belum terpelajar. Engkau
harus buat mereka jadi terpelajar, dengan caramu,sesuai bahasa yang
mereka tahu”.
Seorang teman pernah mengatakan bahwa seorang terpelajar tidak lain
seperti para nabi dan rasul. Selain mendapatkan wahyu,mereka pun wajib
untuk menyebarkan wahyu tersebut. Agak berbeda dengan nabi serta rasul,
seorang terpelajar memang tidak mendapatkan wahyu melalui malaikat, akan
tetapi mendapatkan ilmu dari hasil penalaran dan pengalaman. Bagi saya,
analoginya tidaklah berlebihan, apalagi sesat karena dalam agama yang
saya anut ada sebuah ajaran bahwa pengganti para nabi ialah para ulama.
Sementara arti tepat bagi seorang ulama ialah orang yang berilmu, orang
yang terpelajar. Kemudian ia analogikan seorang terpelajar sebagai
seorang manusia yang melihat sebuah gelas akan jatuh dari meja ketika
orang lain tak menyadarinya. Dan sebagai konsekuensi dari
keberpengatahuannya itu, ia wajib memindahkan gelas tadi ke tempat yang
lebih aman. Gelas yang dimaksud olehnya, tiada lain adalah manusia
beserta hidup yang mereka jalani.
Saya tak tahu, apakah tulisan yang tidak ilmiah dan murahan ini bisa
menggugah kesadaran kawan-kawan mengenai tanggung jawab sosial kita
ataukah tidak. Tetapi tetap, seperti tujuan dibuatnya tulisan ini, saya
berharap agar kawan-kawan bisa menjadi_mengutip ucapan Jalaluddin
Rakhmat_seperti air wudhu, yakni suci dan mensucikan, yang dalam
perumpamaan lain yakni cerdas dan mencerdaskan, sejahtera dan
mensejahterakan, bahagia dan membahagiakan,tercerahkan dan mencerahkan.
Saya berharap agar kita (saya dan kawan-kawan) bersedia, mau, terobsesi
dan tulus mengabdikan diri bagi kemanusiaan, sebagaimana memang itulah
yang semestinya kita lakukan, sebagai salah seorang yang beruntung
diantara banyak orang (Ingat tujuan awal dibentuknya lembaga pendidikan
oleh Plato. Ingat pula mereka yang saya deskripsikan secara lebay di
paragraf tiga). Sebaliknya, saya tak ingin bila kita berpaling dari
tanggung jawab itu. Saya tak ingin jika sampai kita masuk ke dalam arus
yang oleh Julien Benda disebut sebagai ‘pengkhianatan kaum intelektual’.
Jika hal itu terjadi, itu artinya kita telah mengubur amanat Plato
untuk menjadi orang bijak, yang paripurna dalam akal maupun moral.
Karena sesungguhnya, seperti dikatakan Pram,”Seorang terpelajar harus
sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”.
Tingkat intelektualitas yang sejati tidak ditentukan oleh banyaknya
gelar akademik yang kita sandang. S.Pd, S.T, S.H, S.Ag, S. Balok, M.CK,
M.Sg,. atau apapun itu, takkan berarti apa-apa bila tak memberi
kebermanfaatan bagi sesama…
Akhirnya, demikiianlah “babaung” dari saya… Sorry, terlalu panjang…weeew
Sumber:
0 komentar:
Posting Komentar